Salah satu lembaga pendidikan yang menjadi kecintaan Maulana Syaikh adalahMa’had Daarul Qur’an Wal Hadits (MDQH). Kenapa? Dari MDQH inilah beliau banyak melahirkan para pejuang yang aktif mendakwahkan Nahdlatul Wathan. Setelah Maulana Syaikh wafat, MDQH dipimpin oleh salah seorang murid beliau yang sangat istiqomah melanjutkan perjuangan. Siapakah itu? Beliau adalah Tuan Guru Haji Muhammad Yusuf Ma’mun.
Anak kedua dari Tuan Guru Haji Muhammad Fadil dan Hj. Siti Maimunah ini lahir di Rensing, Lombok Timur pada tahun 1950. Sebelum belajar di Makkah, beliau terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya diMa’had Darul Qur’an Wal Hadits Almajidiyyah Asy-Syafi’iyyah (MDQH) NW Pancor. Setelah lulus dari MDQH, beliau kemudian mengabdi di Madrasah Aliyah Nahdlatul Wathan. Baru pada tahun 1977 beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ash-Shaulatiyah, Makkah.
Pada saat belajar di Makkah, suami dari hj. Syukriati ini sangat bersyukur karena pada awal masa studinya di Makkah, beliau merasa tidak mengalami kendala yang berat. Di sana, beliau bisa melanjutkan apa yang sudah diawali oleh guru besar, AlmagfurulahMaulana Syaikh Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama di Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits Almajidiyyah Asy-Syafi’iyyah (MDQH) NW Pancor. Sesuatu yang paling berkesan bagi ayah dari Siti Maysuroh, Nurul Yusri, Nurul Bariyyah, dan M. Syamsul Amin ini pada saat menimba ilmu di Makkah adalah saat beliau dapat berjumpa dengan guru besar AlmagfurulahMaulana Syaikh yaitu Almagfurulah Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath dan juga dapat belajar langsung kepada para sahabat beliau di antaranya adalah Syaikh Zakaria Abdullah Bila dan Syaikh Muhammad Yasin Isa Al-Padani.
Tuan Guru Haji Muhammad Yusuf Ma’mun menyelesaikan pendidikannya di madrasah tertua di Makkah itu pada tahun 1985. Setelah itu, beliau kemudian pulang ke Lombok. Sepulangnya dari Madrasah Ash-Shaulatiyah, beliau sangat aktif memberikan pengajian kepada masyarakat. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1986 beliau mulai mengajar di MDQH NW Pancor.
Ayah dari empat orang anak ini mulai dipercayakan menjadi ‘Amidul Ma’had(pimpinan MDQH) sejak tahun 1999 atau satu tahun setelah wafatnya AlmagfurullahMaulana Syaikh Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Sampai saat ini, beliau masih tetap dipercayakan memimpin salah satu dari kecintaan Maulana Syaikh itu. Selama berjuang memimpin MDQH NW Pancor, perjuangan yang dirasa paling berat adalah pada saat mengupayakan kualitas MDQH saat ini sama seperti zaman dimana pendirinya masih hayat. Untuk itu, dengan segenap tenaga dan fikirian, beliau tetap mempertahankan tradisi yang sudah dipondasikan oleh Maulana Syaikh. Salah satunya dalam hal kurikulum pembelajarannya.
Ada hal yang juga sangat menarik untuk kita jadikan teladan dari beliau adalah motto hidup beliau yaitu hidup sederhana. Tidak semua orang mampu menjadikan hidup sederhana menjadi motto dalam hidupnya. Di tengah kesederhanaan itu, beliau melakukan sesuatu yang luar biasa untuk mencetak thullab dan thalibat MDQH menjadi orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Beliau seperti tak pernah lelah dalam berjuang. Cahaya keihklasan selalu terpancar pada wajah beliau setiap kali kita berjumpa dengannya.
Di samping itu, beliau juga sangat memperhatikan para generasi muda. Beliau memandang bahwa pemuda khususnya para pemuda Nahdlatul Wathan (NW) memiliki peran yang sangat penting dalam perjuangan. Hal ini salah satunya terbukti dengan upaya yang dilakukan para pemuda NW pada saat mengawal salah satu kader pemuda terbaiknya yaitu DR. Muhammad Zainul Majdi menjadi gubernur Nusa Tenggara Barat. Terkait dengan hal itu, beliau memotivasi dan mendorong supaya para pemuda NW terutama yang bernaung di bawah organisasi Himpunan Mahasiswa (HIMMAH) NW agar kembali bergerak dan menjadi yang terdepan dalam melanjutkan perjuangan Almagfurulah Maulana Syaikh.
*Sumber: suaranw.com